Monday, 1 March 2021

yatim.. istilah

YATIM
Daftar Isi:
a. Pengertian Yatim
b. Batasan Yatim
c. Perlakuan Islam Terhadap Anak Yatim
d. Anak-anak Yatim Pengukir Sejarah
a. Pengertian Yatim
Sebagai kata, yatim berasal dari kata yatama-yaitamu-yatmu, yang berarti “sedih, sendiri, lambat”. Adapun menurut istilah syara’, yaitu anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum mencapai baligh, baik ia kaya maupun miskin, laki-laki ataupun perempuan, Islam maupun non-Islam.
Anak kecil yang dipelihara ibunya atau kakek-neneknya atau orang lain disebabkan perceraian orangtuanya, atau sebab lain, tidak dikategorikan sebagai anak yatim. Adapun anak yang kedua orangtuanya telah meninggal termasuk dalam kategori yatim juga, dalam istilah Indonesia disebut yatim piatu. Namun istilah piatu ini hanya dikenal di Indonesia, sedangkan dalam literatur fiqih klasik hanya dikenal istilah yatim.
b. Batasan Yatim
Batas seorang anak disebut yatim adalah ketika anak tersebut telah baligh dan dewasa, berdasarkan sebuah hadits yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas Ra. pernah menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan, salah satunya tentang batasan seorang disebut yatim.
Ibnu Abbas menjawab: “Dan kamu bertanya kepada saya tentang anak yatim, kapan terputus sebutan yatim itu. Sesungguhnya sebutan itu putus bila ia sudah baligh dan menjadi dewasa.”
Anak yatim adalah anak yang belum dewasa dan tidak mempunyai bapak lagi karena telah meninggal dunia. Batasan umur anak yatim adalah sampai baligh, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.: “Tidak ada keyatiman lagi setelah mimpi (dewasa).” (HR. Abu Dawud).
c. Perlakuan Islam Terhadap Anak Yatim
Anak yatim mempunyai tempat khusus dalam Islam. Tidak kurang 20 tiga kali al-Quran menyebutkan dalam berbagai konteks, yakni 8 kali dalam bentuk mufrad (tunggal), sekali dalam bentuk mutsanna (berbilang dua), dan 14 kali dalam bentuk jama’ (banyak).
Ayat-ayat tersebut memerintahkan kepada kaum muslimin pada umumnya dan pada karib kerabat pada khususnya untuk menyantuni, membela dan melindungi anak yatim serta melarang dan mencela orang-orang yang menyia-nyiakan dan bersikap kasar atau mendzalimi mereka.
Di dalam ajaran Islam, mereka semua mendapat perhatian khusus melebihi anak-anak yang wajar yang masih memiliki kedua orangtua. Islam memerintahkan kaum muslimin untuk senantiasa memperhatikan nasib mereka, berbuat baik kepada mereka, mengurus dan mengasuh mereka sampai dewasa. Islam juga memberi nilai yang sangat istimewa bagi orang-orang yang benar-benar menjalankan perintah ini.
Betapa agungnya ajaran Islam, yang menempatkan anak yatim dalam posisi yang sangat tinggi. Islam mengajarkan untuk menyayangi mereka dan melarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyinggung perasaan mereka. Allah Swt. Berfirman: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin.” (QS. al-Ma’un ayat 1-3).
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala juga berfirman: “Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap pengemis, janganlah menghardik.” (QS. adh-Dhuha ayat 9-10).
Ibnu Abbas Ra. berkata: “Ketika Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat “Janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang hak” (QS. al-An’am ayat 152 dan QS. al-Isra’ ayat 34) dan “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan dzalim” (QS. an-Nisa’ ayat 10), ayat ini berangkat dari keadaan orang-orang yang mengasuh anak yatim, yang mana mereka memisahkan makanan mereka dan makanan anak itu, minuman mereka dan minuman anak itu, mereka mengutamakan makanan anak itu daripada diri mereka, makanan anak itu diasingkan di suatu tempat sampai dimakannya atau menjadi basi, hal itu sangat berat bagi mereka, kemudian mereka mengadu kepada Rasulullah Saw. Lalu Allah menurunkan ayat “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang anak yatim, katakanlah: “Berbuat baik kepada mereka adalah lebih baik; dan jika kalian bercampur dengan mereka, mereka adalah saudara-saudaramu.” (QS. al-Baqarah ayat 220). Kemudian orang-orang itu menyatukan makanan mereka dengan anak yatim.”
d. Anak-anak Yatim Pengukir Sejarah
Lipat gandakanlah semua perbuatan baik di bulan Ramadhan. Termasuk memberikan santunan kepada para anak yatim. Tak sedikit tokoh penyebar Islam datang dari kalangan mereka. Bahkan Nabi Muhammad Saw. pun adalah juga seorang anak yatim.
Islam menempatkan anak yatim pada posisi istimewa. Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya apabila anak yatim dipukul dan menangis, guncanglah ‘Arsy Allah Swt. Pada saat itulah Allah bertanya: “Hai malaikat-malaikatKu, siapakah yang menyakiti anak ini?”
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. juga bersabda: “Barangsiapa melindungi anak yatim dengan makanan dan minumannya, Allah Swt. mewajibkan surga baginya.”
Di ranah peradaban Islam kita mengenal tokoh-tokoh Islam yang mengawali perjuangan mereka sejak kecil ketika mereka menjadi yatim. Selain Nabi Muhammad Saw., teladan dari semua teladan anak yatim, sebut saja Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i, dan lain-lain. Keyatiman mereka tidak membuat mereka terpuruk, malah sebaliknya, bangkit meraih kehidupan yang lebih bermartabat. Mereka telah mengukir sejarah dengan karya-karya mereka.
1. Imam Muhammad bin Idris Syafi’i
Pribadi yatim lain yang teguh dan kuat adalah Imam Syafi’i (150-204 H). Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hisyam bin al-Mutallib bin Abdu Manaf bin Qushaiy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luaiy bin Ghalib al-Qurasyi asy-Syafi’i. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah Saw. pada Abdu Manaf.
Ia lahir di Ghazzah atau Ghuzzah, sebuah kota pelabuhan di selatan Palestina yang kini dikenal dengan sebutan Jalur Gazza, pada tahun 150 H. Tahun lahirnya Imam Syafi’i bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Seakan keduanya diciptakan untuk saling menggantikan maqam keimaman dalam ranah kefiqihan.
Ayahnya meninggal ketika ia belum genap berusia dua tahun. Karena khawatir gagal mendidik anaknya di negeri orang, ibunda Imam Syafi’i membawa putranya hijrah ke kota asal leluhurnya, Makkah al-Mukarramah.
Sejak kecil Syafi’i dikenal cerdas dan mempunyai hafalan yang kuat. Dalam sebuah riwayat disebutkan, ia telah hafal al-Quran di usia lima tahun. Selain menghafal al-Qur’an, ia juga banyak menghafal syair sastra Arab yang indah. Syafi’i muda juga dikenal sangat pandai dalam ilmu bahasa Arab.
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru ilmu fiqih kepada mufti kota suci itu, Muslim bin Khalid az-Zanji. Karena ketekunannya, semua ilmu fiqih dilalapnya dengan cepat. Ia juga cerdas dan benar-benar seorang yang berbakat menjadi mufti.
Az-Zanji kemudian mengakui kemampuan muridnya yang luar biasa itu dan mengizinkannya memberi fatwa, meski usia Imam Syafi’i waktu itu baru 15 tahun. Sungguh luar biasa. Menjadi mufti di Masjid al-Haram Makkah, tempat yang begitu mendunia yang dihuni oleh puluhan ulama besar dan didatangi jutaan umat manusia setiap tahunnya.
Meski keilmuan fiqihnya sudah diakui oleh semua pihak, Imam Syafi’i tak berpuas diri. Ketika mendengar bahwa di Madinah (Masjid Nabawi) ada seorang alim besar yang ilmunya sangat luas dan mendalam, ia tergerak untuk mendatanginya dan berguru kepadanya. Ulama itu adalah Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki.
Tapi ada satu masalah yang mengganjal. Majelis Imam Malik adalah majelis khusus untuk ulama besar, bukan untuk remaja berusia belasan tahun. Namun Imam Syafi'i pantang mundur. Dengan tekad baja, ia menghafal al-Muwaththa’, kitab tebal berisi ribuan hadits yang disusun oleh Imam Malik, dalam tempo sembilan hari. Berbekal hafalan itu ia mendaftarkan diri dan diterima oleh Imam Malik.
Puas menyerap semua ilmu Imam Malik, Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Kemudian ia hijrah lagi ke Baghdad pada tahun 183 H untuk menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama besar madzhab Hanafi dan murid langsung Imam Nu’man bin Tsabit al-Hanafi (Imam Abu Hanifah).
Imam Ahmad bin Hanbal, murid utama Imam Syafi’i saat di Makkah, berkata tentang sang guru: “Beliau adalah orang yang paling faqih dalam al-Quran dan as-Sunnah. Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di leher asy-Syafi’i.”
2. Imam Ahmad bin Hanbal al-Mubajjal
Imam Ahmad bin Hanbal lahir pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 780 H di Baghdad. Ketika masih kanak-kanak, ia sudah ditinggal sang ayah untuk selamanya. Sejak itu, hanya ibunyalah yang mengasuhnya dan menyekolahkannya di madrasah, untuk menimba ilmu-ilmu agama, menghafal al-Quran dan mempelajari bahasa Arab.
Ketika memasuki umur 15 tahun, ia baru mengawali mempelajari hadits dan menghafalnya. Dan ketika menginjak usia yang ke-20, ia mengawali perjalanannya untuk menimba ilmu. Dalam perjalanan ilmiyahnya itu, ia menuju Kuffah, Makkah, Madinah, Syam, Yaman, dan kembali ke Baghdad.
Keprihatinannya saat menjadi yatim membuahkan keteguhan dalam jiwanya. Ia menjadi sosok yang penyabar, berpendirian kuat, dan berani mengungkapan kebenaran.
Kepribadiannya ini tampak terlihat jelas saat ia berhadapan dengan Khalifah al-Makmun al-Abbasi pada tahun 212 H, penganut paham Mu’tazilah, yang memaksanya untuk mengakui bahwa al-Quran adalah makhluk.
Pendiriannya bahwa al-Quran adalah Kalamullah bagaikan tonggak yang menancap kuat yang tidak terpengaruh oleh maklumat Khalifah al-Makmun tersebut. Hingga akhirnya ia dipenjara. Sejak saat itu, separuh hidupnya dihabiskan di dalam penjara Dinasti Abbasiyyah.
3. Imam Sufyan Ats-Tsauri
Nama lengkapnya Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’. Ia lahir di Kuffah pada tahun 97 H/715 M. Kakeknya termasuk salah satu tabi’in terkemuka dan ikut bersama Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam Perang Jamal. Ayah Sufyan adalah salah satu ulama Kuffah. Hal ini yang mungkin menjadikan Imam Sufyan ats-Tsauri sudah menuntut ilmu ketika dirinya masih belia.
Ayahnya meninggal dunia ketika ia belum genap berusia sembilan tahun. Sejak saat itu, ibunya yang merawat, mengasuhnya dan mengarahkan dirinya untuk belajar hadits di masjid.
Suatu hari, ibunya membuat tenunan, lalu menjualnya dengan harga sepuluh dirham. Kemudian ia memanggil Sufyan: “Putraku, ini ada uang sepuluh dirham. Pergi dan gunakanlah uang ini untuk belajar hadits di masjid. Kemudian perhatikan, jika kamu melihat apa yang kamu pelajari memiliki pengaruh terhadap akal, hati dan perbuatanmu, datanglah kemari lagi. Nanti akan Ibu beri uang sepuluh dirham lagi untuk kamu gunakan menuntut ilmu. Namun, jika kamu tidak menemukan pengaruh tersebut, tinggalkan saja ilmu itu, karena ilmu tidak bersedia ikut kecuali dengan orang yang ikhlas, tulus dan sungguh-sungguh.”
Sejak kecil, Sufyan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan sangat menonjol di dalam berbagai disiplin ilmu, terutama di bidang hadits dan fiqih, sehingga melambungkan namanya dalam dunia keilmuan Islam.
Seperti halnya Imam Malik yang disebut sebagai “tokohnya” Madinah dan Imam Abdurhman al-Auza’i sebagai tokohnya Syam, Imam Sufyan ats-Tsauri adalah tokohnya Kuffah. Jumlah hadits yang diriwayatkan Imam Sufyan tak kurang dari 30 ribu hadits. Diceritakan oleh Yahya bin Yaman, ia telah meriwayatkan 20 ribuan hadits yang melalui Sufyan ats-Tsauri.
Dalam ranah fiqih, Imam Sufyan ats-Tsauri terkenal dengan kemampuan berijtihadnya yang banyak mengandalkan logika dalam bentuk qiyas.
Dalam berfatwa, Imam Sufyan ats-Tsauri dikenal sangat berhati-hati. Tak jarang seseorang yang datang kepadanya untuk meminta fatwa harus menunggu selama berhari-hari bila sang imam ragu atas salah satu hadits yang dihafalnya. Imam Sufyan akan meminta waktu untuk memeriksa semua catatan haditsnya buat memastikan kebenaran dalil atas fatwa yang akan dikeluarkannya.

Selain Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Sufyan ats-Tsauri, masih banyak anak yatim lain yang berhasil mengukir sejarah. Diantaranya adalah Imam Bukhari, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan para pakar ilmu-ilmu Islam lainnya. 

1 comment:

bani ridwan bin daim

 arif hartawan bin ridwan bin daim bin caryan